MATA KULIAH : Teori Perencanaan
NAMA DOSEN : Jufriadi, ST., MSP
JENIS JENIS TEORI
PERENCANAAN
DISUSUN OLEH
NAMA : FRANSISKUS OKTOVIANEY.LW
NIM : 45 12 042 076
JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS BOSOWA 45
MAKASSAR
2014
1. Teori Von Thunen
Von
Thunen adalah orang pertama yang membuat model analitik dasar dari hubungan
antara pasar, produksi, dan jarak. Lahir dengan nama lengkap Johann Heinrich
von Thunen, dialah yang pertama kali mengemukakan teori ekonomi lokasi modern.
Teori Von Thunen telah mulai dikenal sejak abad ke 19. teorinya mencoba untuk
menerangkan berbagai jenis pertanian dalam arti luas yang berkembang disekeliling
daerah perkotaan yang merupakan pasar komoditi pertanian tersebut. Ia
berpendapat bahwa bila suatu laboratorium dapat diciptakan berdasarkan atas
tujuh asumsi, maka daerah lokasi jenis pertanian yang berkembang akan mengikuti
pola tertentu. Ketujuh asumsi tersebut adalah:
- Terdapat suatu daerah terpencil yang terdiri atas daerah perkotaan dengan daerah pedalamannya yang merupakan satu-satunya daerah pemasok kebutuhan pokok yang merupakan komoditi pertanian;
- Daerah perkotaan tersebut merupakan daerah penjumlahan kelebihan produksi daerah pedalaman dan tidak menerima penjualan hasil pertanian dari daerah lain;
- Daerah pedalaman tidak menjual kelebihan produksinya ke daerah lain, kecuali ke daerah perkotaan tersebut;
- Daerah pedalaman merupakan daerah berciri sama dan cocok untuk tanaman dan peternakan dataran menengah;
- Daerah pedalaman dihuni oleh petani yang berusaha untuk mempeoleh keuntungan maksimum dan mampu untuk menyesuaikan hasil tanaman dan peternakannya dengan peemintaan yang terdapat di daerah perkotaan;
- Satu-satunya angkutan yang terdapat pada waktu itu adalah angkutan darat berupa gerobak yang dihela oleh kuda;
- Biaya angkutan ditanggung oleh petani dan besarnya sebanding dengan jarak yang ditempuh. Petani mengangkut semua hasil dalam bentuk segar.
Von
Thunen mengidentifikasi tentang
perbedaan lokasi dari berbagai kegiatan pertanian atas dasar perbedaan sewa
lahan (pertimbangan ekonomi). Menurut Von Thunen tingkat sewa lahan adalah
paling mahal di pusat pasar dan makin rendah apabila makin jauh dari pasar. Von
Thunen menentukan hubungan sewa lahan dengan jarak ke pasar dengan menggunakan
kurva permintaan. Model Von Thunen
mengenai tanah pertanian ini, dibuat sebelum era industrialisasi, yang memiliki
asumsi dasar sebagai berikut :
- Wilayah model yang terisolasikan (isolated state) adalah bebas dari pengaruh pasar-pasar kota lain,
- Wilayah model membentuk tipe permukiman perkampungan di mana kebanyakan keluarga petani hidup pada tempat-tempat yang terpusat dan bukan tersebar di seluruh wilayah,
- Wilayah model memiliki iklim, tanah, topografi yang seragam, atau uniform (produktivitas tanah secara fisik adalah sama),
- Wilayah model memiliki fasilitas transportasi tradisional yang relatif seragam,
- Faktor-faktor alamiah yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah konstan
Teori Von Thunen yang
masih relevan dengan kondisi sekarang contohnya adalah kelangkaan persediaan
sumber daya lahan di daerah perkotaan memicu berlakunya hukum ekonomi supply
and demand semakin langka barang di satu pihak semakin meningkat permintaan di
pihak lain akibatnya harga melambung. Demikian yang terjadi terhadap lahan yang
ada di daerah perkotaan, dimana nilai sewa atau beli lahan yang letaknya
dipusat kegiatan, semakin dekat ke pusat semakin tinggi nilai sewa atau beli
lahan tersebut.
- Kelangkaan lahan di kota-kota besar seperti untuk pertokoan misalnya, banyak sekali toko – toko yang terletak di pusat kota biaya sewa atau beli tanahnya lebih mahal dari biaya sewa atau beli rumah yang jauh dari pusat perkotaan, bahkan harganya selalau naik, mengikuti perkembangan yang terjadi dari tahun ketahunnya. Ini mengindikasikan bahwa teori Von Thunen tentang alokasi lahan untuk kegiatan pertanian juga berlaku di daerah perkotaan
2 . Teori Alfred weber (Lokasi optimum dan
Aglomerasi lndustri)
Alfred
Weber (1907 – 1933), memiliki teori yang menyebutkan bahwa lokasi
industri sebaiknya diletakkan di tempat yang memiliki biaya yang paling
minimal. Menurut teori Weber pemilihan lokasi industri didasarkan atas prinsip
minimisasi biaya. Weber menyatakan bahwa lokasi setiap industri tergantung pada
total biaya transportasi dan tenaga kerja di mana penjumlahan keduanya harus
minimum. Tempat dimana total biaya transportasi dan tenaga kerja yang minimum
adalah identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum. Dalam menjelaskan
keterkaitan biaya transportasi dan bahan baku Weber menggunakan konsep segitiga
lokasi atau locational triangle untuk memperoleh lokasi optimum yang
menunjukkan apakah lokasi optimum tersebut lebih dekat ke lokasi bahan baku atau
pasar.
Menurut
Weber, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi lokasi industri, yaitu faktor
tenaga kerja dan biaya transportasi yang merupakan faktor regional yang
bersifat umum serta faktor deglomerasi/aglomerasi yang bersifat lokal dan
khusus. Weber berbasis kepada beberapa asumsi utama, antara lain:
- Lokasi bahan baku ada di tempat tertentu begitu pula dengan situasi dan ukuran tempat konsumsi, sehingga terdapat suatu persaingan sempurna
- Ada beberapa tempat pekerja yang bersifat tak mudah bergerak
Dalam menyusun
konsepnya, Weber melakukan penyederhanaan dengan membayangkan adanya bentang
lahan yang homogen dan datar, serta mengesampingkan upah buruh dan jangkauan
pasaran.
Dengan
menggunakan ketiga asumsi di atas, maka biaya transportasi akan tergantung dari
dua hal, yaitu bobot barang dan jarak pengangkutan. Apabila yang menjadi dasar
penentu bukan bobot melainkan volume, maka yang menentukan biaya pengangkutan
adalah volume barang dan jarak pengangkutan. Pada prinsipnya, yang harus
diketahui adalah unit yang merupakan hubungan fungsional dengan biaya serta
jarak yang harus ditempuh dalam pengangkutan itu (memiliki tarif sama). Di sini
dapat diasumsikan bahwa harga satuan angkutan sama, sehingga perbedaan biaya
angkutan hanya disebabkan oleh perbedaan berat benda yang diangkut dan jarak
yang ditempuh.
Selain
itu, Weber juga mengelompokkan industri menjadi dua, yaitu industri yang weight
losing (industri yang hasil produksinya memiliki berat yang lebih ringan
daripada bahan bakunya, misalnya industri kertas. Industri ini memiliki indeks
material <> 1). Dengan indeks material > 1, maka biaya transportasi
bahan baku menuju pabrik akan lebih mahal apabila dibandingkan dengan biaya
transportasi produk jadi menuju pasaran (market). Oleh karena itu, lokasi pabrik
seharusnya diletakkan di dekat sumber bahan baku (resources oriented).
Sebaliknya, bagi industri yang berjenis weight gaining, maka lokasi industri
lebih baik diletakkan di dekat pasar. Penggunaan kedua prinsip untuk menentukan
lokasi industri di atas akan mengalami kesulitan apabila berat benda yang masuk
ke dalam perhitungan tidak jauh berbeda.
Pada
intinya, lokasi akan optimal apabila pabrik berada di sentral, karena biaya
transportasi dari manapun akan rendah. Biaya tersebut berkaitan dengan dua hal,
yaitu transportasi bahan mentah yang didatangkan dari luar serta transportasi
hasil produksi yang menuju ke pasaran.
Weber
juga menjelaskan mengenai adanya gelaja aglomerasi industri. Gejala aglomerasi
merupakan pemusatan produksi di lokasi tertentu. Pemusatan produksi ini dapat
terjadi dalam satu perusahaan atau dalam berbagai perusahaan yang mengusahakan
berbagai produk. Gejala ini menarik industri dari lokasi biaya angkutan
minimum, karena membawakan berbagai bentuk penghematan ekstern yang disebut Aglomeration
Economies. Tentu saja perpindahan ini akan mengakibatkan kenaikan biaya
angkutan, sehingga dilihat dari segi ini tidak lagi optimum. Oleh karena itu,
industri tersebut baru akan pindah bila penghematan yang dibawa oleh Aglomeration
Economies lebih besar daripada kenaikan biaya angkutan yang dibawakan
kepindahan tersebut.
Perkembangan
suatu kawasan (region) berasal dari satu titik, yaitu pusat kota yang dalam
tahap selanjutya bersifat menyebar. Setiap perkembangan yang terjadi pada suatu
kawasan, terutama dalam kaitannya dengan sektor industri, akan memberikan
pengaruh yang cukup besar dalam mendorong perkembangan sektor-sektor lainnya.
Maka, dapat dikatakan pula bahwa perkembangan suatu kawasan mempunyai dampak
terhadap perkembangan kota yang berada di sekitarnya.
Salah
satu faktor yang juga mempengaruhi perkembangan kawasan industri tersebut
adalah terdapatnya sarana transportasi yang memadai. Peranan sarana
transportasi ini sangat penting bagi suatu kawasan untuk menyediakan
aksesibilitas bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari akan barang
dan jasa, serta untuk meningkatkan kehidupan sosial ekonomi. Semakin kecil
biaya transportasi antara lokasi bahan baku menuju pabrik dan dari pabrik
menuju pasaran (market), maka jumlah biaya yang dikeluarkan untuk mengangkut
bahan baku maupun hasil produksi juga akan semakin rendah.
Dengan
memperhitungkan berat bahan baku = w (S1) ton yang akan ditawarkan di pasar M,
w (S1) dan w (S2) ton material yang berasal dari masing-masing S1 dan S2 yang diperlukan,
masalahnya berada dalam mencari lokasi pabrik yang optimal P terletak di
masing-masing jarak d (M), d (S1) dan d (S2). Beberapa metodologi dapat
digunakan untuk menyelesaikan masalah seperti menggambarkan sebuah analogi ke
dalam sistem bobot dan pulleys (Varignon's solusi) atau menggunakan
trigonometri. Cara lain yang biasanya dipilih oleh para ahli geografi adalah
dengan SIG.
Teori
Lokasi Weber ini bisa menjelaskan dengan sangat baik mengenai indutri berat
mulai revolusi industri sampai dengan pertengahan abad dua puluh. Bahwa
kegiatan yang lebih banyak menggunakan bahan baku cenderung untuk mencari
lokasi dekat dengan lokasi bahan baku, seperti pabrik alumunium lokasinya
harus dekat lokasi tambang dan dekat dengan sumber energi (listrik).
Kegiatan yang menggunakan bahan baku yang mudah ditemukan dimana saja seperti
air, cenderung dekat dengan lokasi pasar. Untuk menilai masalah ini, Weber
mengembangkan material index yang diperoleh dari berat input dibagi berat
dari produk akhir (output). Jika material indexnya lebih dari 1 maka lokasi
cenderung kearah dekat dengan bahan baku, jika kurang dari 1 maka penentuan
lokasi industri cenderung mendekati pasar.
Industri
primer adalah Industri yang menghasilkan barang-barang tanpa pengolahan
lebih lanjut sehingga bentuk dari bahan baku/mentah masih tampak.Contohnya :
industri pengasinan ikan, penggilingan padi, anyaman. Jadi industri
primer ini aktivitasnya lebih banyak menggunakan bahan baku, sehingga
menurut teori webber lokasi industrinya yang tepat adalah dekat dengan bahan
baku.
Dan
jika dihitung berdasarkan teori material indexnya weber misal : industri
pengasinan ikan, berat input (ikan segar) lebih berat dari berat ikan asin jadi
material idexnya lebih dari 1, maka menurut webber untuk menghemat biaya
transportasi dan untuk mendapatkan keuntungan maksimal maka lokasi industrinya
yang tepat adalah yang dekat dengan bahan baku.
3 . TeoriWalter Christaller Central Place Theory (Teori Tempat Sentral)
Central Place theory dikemukakan oleh Walter Christaller pada 1933. Teori ini
menyatakan bahwa suatu lokasi dapat melayani berbagai kebutuhan yang
terletak pada suatu tempat yang disebutnya sebagai tempat sentral. Tempat
sentral tersebut memiliki tingkatan-tingkatan tertentu sesuai kemampuannya melayani
kebutuhan wilayah tersebut. Bentuk pelayanan tersebut digambarkan dalam segi
enam/heksagonal. Teori ini dapat berlaku apabila memiliki karakteristik sebagai
berikut
1.
wilayahnya datar dan tidak berbukit
2. tingkat
ekonomi dan daya beli penduduk relatif sama
3. penduduk
memiliki kesempatan yang sama untuk bergerak ke berbagai arah
Secara
hierarki Central Place Theory dibagi menjadi 3 tingkatan pelayanan
1. Herarkri
K 3
Merupakan
pusat pelayanan pasar optimum dimana tempat sentral tersebut selalu menyediakan
kebutuhan barang-barang pasar untuk daerah disekitarnya.
2. Hierarki
K 4
Merupakan
pusat lalu lintas/transportasi maksimum dimana tempat sentral tersebut
menyediakan sarana dan prasarana lalu-lintas yang optimal.
3. Hierarki
K 7
Merupakan
pusat pemerintahan optimum dimana tempat sentral tersebut merupakan sebuah
pusat pemerintahan
Teori pada prinsipnya bersifat statis dan tidak memikirkan
pola pembangunan di masa yang akan datang akan tetapi dasar tentang
hierarki suatu pusat pelayanan sangat membantu dalam hal perencanaan
pembangunan sebuah wilayah/kota.
4. Teori August Losch (Kerucut permintaan)
August Losch, adalah seorang ekonom Jerman dan menulis sebuah buku berjudul The
Economics of Location (1954). Dia merupakan orang pertama yang mengembangkan
teori lokasi dengan segi permintaan sebagai variabel utama dengan
memperhitungkan baik harga produk dan berapa biaya untuk memproduksinya.
Dimana Losch mengatakan bahwa lokasi penjual sangat berpengaruh terhadap jumlah
konsumen yang dapat digarapnya. Makin jauh dari tempat penjual, konsumen makin
enggan membeli karena biaya transportasi untuk mendatangi tempat penjual
semakin mahal. Losch cenderung menyarankan agar lokasi produksi berada di pasar
atau di dekat pasar. Teori ini bertujuan untuk menemukan pola lokasi industri
sehingga diketemukan keseimbangan spasial antar lokasi. Losch berpendapat bahwa
dalam lokasi industri yang tampak tak teratur dapat diketemukan pola
keberaturan.
Teori losch berasumsi suatu daerah yang homogen dengan distribusi sumber bahan
mentah dan sarana angkutan yang merata serta selera konsumen yang sama.
Kegiatan ekonomi yang terdapat di daerah tersebut merupakan pertanian berskala
kecil yang pada dasarnya ditujukan bagi pemenuhan kebutuhan petani
masing-masing. Selain itu, untuk mencapai keseimbangan, ekonomi ruang losch
harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
1. Setiap lokasi industri harus menjamin keuntungan
maksimum bagi penjual maupun pembeli.
2. Terdapat cukup banyak usaha pertanian
dengan penyebaran cukup merata sehingga seluruh permintaan yang ada dapat
dilayani.
3. Terdapat free entry dan tak ada petani
yang memperoleh super-normal propfit sehingga tak ada rangsangan bagi petani
dari luar untuk masuk dan menjual barang yang sama di daerah tersebut.
4. Daerah penawaran adalah sedemikian hingga
memungkinkan petani yang ada untuk mencapai besar optimum.
5. Konsumen bersikap indifferent terhadap
penjual manapun dan satu-satunya pertimbangan untuk membeli adalah harga yang
rendah.
Pada teori
Losch, wilayah pasar bisa berubah ketika terjadi inflasi (perubahan) harga. Hal
ini disebabkan karena produsen tidak mampu memenuhi permintaan yang karena
jaraknya jauh akan mengakibatkan biaya transportasi naik sehingga harga jualnya
juga naik, karena tingginya harga jual maka pembelian makin berkurang. Hal ini
mendorong petani lain melakukan proses produksi yang sama untuk melayani permintaan
yang belum terpenuhi.
5 . Teori Francois perroux (Kutub pertumbuhan)
Teori ini dikembangkan oleh ahli ekonomi Perancis Francois
Perroux pada tahun 1955. Inti dari teori ini menyatakan bahwa pertumbuhan
ekonomi di tiap daerah tidak terjadi di sembarang tempat melainkan di lokasi
tertentu yang disebut kutub pertumbuhan. Untuk mencapai tingkat pendapatan
tinggi harus dibangun beberapa tempat pusat kegiatan ekonomi yang disebut
dengan growth pole (kutub pertumbuhan). Pandangan Perroux mengenai proses pertumbuhan
adalah teori tata ruang ekonomi, dimana industri pendorong memiliki peranan
awal dalam membangun sebuah pusat pertumbuhan. Industri pendorong ini memiliki
ciri-ciri sebagai berikut
1. Tingkat
konsentrasi tinggi
2. Tingkat
Teknologi Maju
3. Mendorong
perkembangan industri di sekitarnya
4. Manajemen
yang professional dan modern
5. sarana
dan prasarana yang sudah lengkap
Konsep
Growth pole dapat didefinisikan secara geografis dan fungsional
Secara
geografis growth pole dapat digambarkan sebagai suatu lokasi yang memiliki
fasilitas dan kemudahan sehingga menimbulkan daya tarik bagi berbagai kalangan
untuk mendirikan berbagai macam usaha di daerah tersebut dan masyarakat senang
memanfaatkan fasilitas tersebut.
Secara
fungsional growth pole dapat diartikan sebagai suatu lokasi konsentrasi
kelompok ekonomi (industri, bisnis dll) yang mengakibatkan pengaruh ekonomi ke
dalam maupun keluar wilayah tersebut.
6. Teori Boudeville (Kutub pembangunan yang Terlokalisasikan)
Boudeville (dalam
Glasson,1978) mendefinisikan wilayah perencanan (planning region atau
programming region) sebagai wilayah yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan
keputusan-keputusan ekonomi. Wilayah perencanaan dapt dilihat sebagai wilayah
yang cukup besar untuk memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan penting
dalam penyebaran penduduk dan kesempatan kerja, namun cukup kecil untuk
memungkinkan persoalan-persoalan perencanaannya dapat dipandang sebagai satu
kesatuan.
Klassen (dalam
Glasson,1978) mempunyai pendapat yang hampir sama dengan Boudeville,yaitu bahwa
wilayah perencanaan harus mempunyai ciri-ciri:
- cukup besar untuk mengambil keputusan-keputusan investasi yang berskala ekonomi,
- mampu mengubah industrinya sendiri dengan tenaga kerja yang ada,
- mempunyai struktur ekonomi yang homogen,
- mempunyai sekurang-kurangnya satu titik pertumbuhan (growthpoint).
- mengunakan suatu cara pendekatan perencanaan pembangunan,
- masyrakat dalam wilayah itu mempunyai kesadaran bersama terhadap persoalan-persoalannya.
Salah satu contoh
wilayah perencanaan yang sesuai dengan pendapat Boudeville dan Klassen
di atas, yang lebih menekankan pada aspek fisik dan ekonomi, yang ada di
Indonesia adalah BARELANG (pulau Batam, P Rempang, P Galang) Daerah perencanaan
tersebut sudah lintas batas wilayah administrasi.
Wilayah perencanaan
bukan hanya dari aspek fisik dan ekonomi, namun ada juga dari aspek ekologis.
Misalnya dalam kaitannya dengan pengelolaan daerah aliran sugai (DAS).
Pengelolaan daerah aliran sungai harus direncanakan dan dikelola mulai dari
hulu sampai hilirnya.Contoh wilayah perencanaan dari aspek ekologis adalah DAS
Cimanuk, DAS Brantas, DAS Citanduy dan lain sebagainya.
7 . Teori Myrdal (Pusat pinggiran)
Konsep pusat pinggiran ini pertama-tama dikemukakan pada
tahun 1949 oleh
pebrisch, seorang ahli ekonomi Amerika Latin. Tipe teori
pembangunan ini mencoba
memberikan gambaran dan menerangkan tentang perbedaan
pembangunan
(development), tetapi penekanannya dari aspek
keruangan. Jadi konsep ini sesuai
dengan kajian geografi yang juga melihat sesuatu dari segi
keruangan. Perbedaan
antara daerah pusat (C) dan daerah pinggiran ( P ) dapat
dijumpai dalam beberapa
skala: di dalam region, anatar regions dan anatara negara (
pelabuhan dan daerah
pendukungnya: kota dan desa; negara maju dan negara sedang
berkembang ).
Dari konsep ini kemudian berkembang menjadi beberapa
pandangan teorits
mengenai perbedaan pembangunan yaitu kemajuan anatara pusat
dan pinggiran
(Core-periphery), seperti teori polarisasi ekonomi dari
Myrdal dan Hirscman, teori
pembangunan regional dan Friedmann dan pandangan Marxist.
Menurut Myrdal “ Core region “ adalah sebagai magnit
yang dapat memperkuat
pertumbuhan ekonomi dengan sendirinya, karena adanya
sebab-sebab kumulatif ke
arah perkembangan ( “Cumulative upward causation” ): seperti
arus buruh dari
pinggiran ke pusat ( P ke C ); tenaga trampil, modal dan
barang-barang perdagangan
yang secara spontan berkembang didalam ekonomi pasar bebas
untuk menunjang
pertumbuhan di suatu lokasi (wilayah ) tertentu.
8 . Teori Walter lsard (Masukan Transpor)
Teori ini dikemukakan oleh Walter
Isard (1956) yang mengembangkan logika teori dasar Weber dengan menempatkan
teori tersebut dalam konteks analisis substitusi sehingga menjadi alat peramal
yang tangguh (robust) namun
sederhana. Pendekatan Isard menggunakan asumsi bahwa lokasi dapat terjadi di
titik-titik sepanjang garis yang menghubungkan sumber bahan baku dengan pasar
jika bahan baku setempat adalah murni sehingga terdapat dua variabel, yaitu
jarak dari pasar dan jarak dari sumber bahan baku. Hubungan kedua variabel
tersebut dapat diplotkan dalam bentuk grafik dimana garis yang menghubungkan
antara sumber bahan baku dan pasar adalah tempat kedudukan titik-titik
kombinasi antara bahan baku dan pasar yang bersifat substitusi. Apabila
ditambah lagi satu variabel baru yakni penggunaan bahan baku kedua kedalam
input produksi, maka terdapat 3 set hubungan substitusi.
Alasan
mengapa istilah satu variabel dibuat tetap hanyalah untuk mempermudah pembuatan
grafik dua dimensi. Penyelesaian masalah dalam penentuan lokasi dapat dilihat
secara bertahap melalui pasangan-pasangan dua sudut dari segitiga tersebut.
Titik biaya terendah diperoleh dengan mengidentifikasikan titik dimana jarak
tempuh total adalah terendah di setiap pasangan garis transformasi sehingga
jarak parsial dapat digunakan untuk menentukan lokasi optimal. Jadi, lokasi
optimal adalah lokasi dengan biaya transportasi beberapa substitusi lokasi yang
paling rendah.
9 . Teori
Hoover (Peranan Biaya Transpor Dalam pemilihan Lokasi INDUSTRI
Teori Hoover (1948),
muncul sebagai kritik terhdap teori yang dikemukakan oleh Weber tentang lokasi
industri, khususnya yang menyangkut biaya transport yang terendah di dalam
segitiga lokasional. Hoover mengemukakakn lokasi pabrik atau perusahaan dapat
saja di titik pasar ataupun pada titik sumber bahan mentah, jadi tidak hanya
lokasi antaranya seperti pendapat Weber. Yang mendasari pendapat Hoover juga
biaya transpor, dengan memperhitungkan assembly cost ditambah distribution
cost .
Pada kasus industri
yang berkiblat bahan mentah akan menempatkan lokasi industri tersebut pada
lokasi bahan mentah, begitu juag sebaliknya, industri yang berkiblat pasar akan
menempatkan industri pada lokasi pasar.
Pada kasus dimana
pabrik ditemukan pada lokasi antara pasar dan sumber bahan mentah, dapat
diketahui industri tersebut memperhatikan non biaya transport. Aspek lain yang
penting dalam Teori Hoover adalah transhipment point sebagai biaya
tranpsort paling rendah. Sehubungan dengan itu perlu diketahui seluk beluk
biaya break of bulk point, tempat dimana cargo dipindahkan dari
sarana transport jenis yang satu ke jenis yang lain, misalnya tempat pelabuhan
atau stasiun kereta api.
10 . Teori John
Friedmann (DaerahAl/ilayah inti)
John Friedmann (1987) memandang bahwa
tidak efektifnya komunikasi dalam proses perencanaan, dapat terjadi karena para
perencana umumnya menganggap dirinya superior dibandingkan masyarakat sebagai
kliennya. Perencana merasa bahwa dengan teknik-teknik yang dimilikinya mereka
mampu memecahkan berbagai masalah karena dapat melihat kerumitan masalah dengan
lebih rasional. Sedangkan masyarakat sebagai klien beranggapan bahwa pengalaman
adalah guru yang terbaik, karena sudah teruji secara alamiah. Dan permasalahan
dapat dipecahkan karena keterlibatan klien secara langsung. Karena adanya
jurang pendapat ini, Friedmann mengusulkan transactive sebagai jembatan
penghubung, melalui apa yang disebut sebagai the life of dialogue. The
life of dialogue ini dapat terjadi dari hubungan antara dua pihak, bila
memiliki karakteristik: interaktif yang originalitas, tindakan yang objective,
dan bila ada konflik tidak dipandang sebagai kendala akan tetapi dijadikan
potensi komplementer. Dalam menjalankannya diperlukan eksistensi dan substasi
perencanaan yang sama, interest dan komitment yang setara, hubungan timbal
balik atau interaktif yang memadai, dan memiliki kerangka waktu (time frame)
yang equal (Friedmann 1987).
Oleh karena itu proses timbal balik (mutual
learning) antara klien dan perencana merupakan faktor yang mendasar dalam
konsep pluralisme, transactive, adcocacy, dan perencanaan yang komunikatif.
Dalam proses ini perencana belajar dari pengalaman pribadi dan klien, sedangkan
klien belajar dari kepakaran taknik dari perencana. Dengan proses ini
pengetahuan kedua belah pikah menjadi makin bertambah
11 . Teori Poernomosidi (Simpul Jasa Distribusi
Menggunakan pendekatan Arus
Barang)
Poernomosidi Hadjisarosa menjelaskan Teori Simpul Jasa
Distribusi yang telah dikembbangkan dalam berbagai artikel dan Makala, misalnya
Konsepsi Dasar Penembangan Wilayah di Indonesia ( Makala di sajikan
dalam symposium di ITB,tanggal 21 Agustus 1980, dan dalam pertemuan antara
ilmuan lembaga ilmu pengetahuan Indonesia di Jakarta, Tanggal 24 Juni 1981 ). Poernomosidi menjelaskan konsepnya sebagai berikut : Berkembangnya
Wilayah ditandai
oleh terjadinya Pertumbuhan atau perkembangan sebagai akibat berlangsungnya
berbagai kegiatan usaha , baik sector Pemerintah maupun sector Swasta, yang
pada dasarnya bertujuan untuk menigkatkan pemenuhan kebutuhan. Berlangsungnya
kegiatan usaha tersebut ditunjang dari segi modal.
Dibandingkan dengan teori tempat sentral dan teori
kutub pertumbuhan ternyata teori “ Simpul Jasa Distribusi “ lebih akomodatif.
Poernomosidi membantah Teori tempat sentral yang beranggapan bahwa seluruh wilayah terbagi habis dan
seluruh bagian Wilayah tidak ada yang terlewatkan oleh jasa pelayanan. Dalam
hal ini Poernomosidi membedakan wilayah Adminnistratif dengan wilayah
pengembangan. Secara administratif, seluruh wilayah terbagi habis tetapi tidak
berarti seluruh Wilayah Administrasi otomatis tercakup dalam Wilayah
pengembangan, dalam kenyataannya bebrapa
bagian Wilayah administrasi tidak terjangkau oleh pelayanan jasa distribusi
disebabkan hambatan – hambatan geografis atau karena belum tersedianya Prasarana – prasarana
perhubungan kea tau dari bagian – bagiian Wilayah tersebut.
Pada teori kutub pertumbuhan yang di ungkapkan oleh Perroux,
Poernomosidi mencoba membandingkan dengan teorinya di mana pada teori kutub
pertumbuhan tidak menjelaskan pertumbuhan secara Nasional. Sedangkan teori
simpul yang bertitik tolak pada pemahaman struktur wilayah tingkat Nasional (
SPWTN ) telah mengungkapkan gambaran tentang penyebaran, orientasi dan tingkat
perkembangan masing – masing satuan Wilayah Pengembangan ( SWP ) serta hubungan
ketergantungan antar (SWP ) melalui simpul – simpulnya masing – masing.
12 . Teori Rahardjo Adisasmita (Simpul Jasa
Distribusi Menggunakan pendekatan
Orientasi Pedagangan)
Rahardjo Adi Sasmita
memperkuat teori simpul jara distribusi ini dengan teori arus barang, bahwa
pergerakan barang ditentukan oleh suatu kebputusan dalam kegiatan perdagangan
yang mempengaruhi intensitas kegiatan pada masing-masing simpul. Dengan
variable LDTR dan BFDR, untuk menyatakan beban simpul jasa, berdasarkan
orientasi, bobot dan jumlah pedagang, ia menjabarkan lebih jauh mengenai:
-
Kaitan fungsi antar simpul (kota) serta besar pengaruh antar simpul dengan yang
lain
-
Gejala karakteristik penyebaran simpul
-
Faktor penentu terjadinya sub ordinasi pada simpul
-
Tingkat efisiensi pada masing-masing simpul.
13 . Teori Adam smith (perbedaan antara kota dan perdesaan)
Adam
Smith dalam pemikirannya membagi pertumbuhan ekonomimenjadi 5 tahap, dimulai dari masa
perburuan, masa beternak, masabercocok
tanam, masa perdagangan, dan masa perindustrian. Menurut Adam Smith, dalam perkembangannya pertumbuhanekonomi satu
masyarakat melalui proses pentahapan dari tahap yangpaling tradisional (primitf) hingga tahap yang lebih maju (modern).
Padangan
Adam Smith dalam teori pertumbuhan ekonomi, yangmenjadi titik perhatiannya
adalah pembagian kerja dan investasi.Adam Smith berpendapat bahwa
pertumbuhan ekonomi akanbergerak dari masyarakat tradisonal menuju masyarakat
modern,namun pembagian kerja menjadi faktor lain yang turut mendukungproses pertumbuhan ekonomi, tenaga
kerja menjadi masukan(input) bagi proses
produksi. Adam Smith berpendapat bahwa pembagiankerja akan lebih efisien dan hasil produksi jauh lebih baik danberkualitas dengan adanya peningkatan keterampilan
tenaga kerjadan penemuan mesin-mesin. Kedua yang menjadi fokus perhatianAdam Smith adalah kemampuan investasi dan
menabungan.Kemampuan menabung oleh masyarakat dipengaruhi olehkemampuan
menguasai sumber daya. Artinya kelompok masyarakatyang menguasai sumberdaya dan
mengeksplorasi merupakan modaldalam investasi dan tabungan.Asumsinya bahwa
perkembangan ekonomi terjadi sebagai berikut :
•Perkembangan ekonomi
berlansgsung secara pentahapan.
•Adanya pembangian kerja sebagai proses efisiensi
kerja denganpeningkatan keterampilan
tenaga kerja dan penemuan mesin-mesin.
•Kemampuan menabung menunjukkan kemampua
masyarakatdalam menguasai sumber daya yang ada (sumber ekonomi).
14 . teori Archibugi ( Penerapan Komponen Perencanaan Wilayah )
Menurut Archibugi
(2008) berdasarkan penerapan teori perencanaan wilayah
dapat dibagi atas
empat komponen yaitu :
(a) Physical Planning(Perencanaan fisik).
Perencanan yang perlu
dilakukan untuk merencanakan secara fisik pengembangan wilayah. Muatan
perencanaan ini lebih diarahkan kepada pengaturan tentang bentuk fisik kota
dengan jaringan infrastruktur kota menghubungkan antara beberapa titik simpul
aktivitas. Teori perencanaan ini telah membahas tentang kota dan sub bagian
kota secara komprehensif. Dalam perkembangannya teori ini telah memasukkan
kajian tentang aspek lingkungan. Bentuk produk dari perencanaan ini adalah
perencanaan wilayah yang telah dilakukan oleh pemerintah Kota Medan dalam
bentuk master plan
(tata ruang, lokasi
tempat tinggal, aglomerasi, dan penggunaan lahan).
(b) Macro-Economic Planning(Perencanaan
Ekonomi Makro).
Dalam perencanaan ini
berkaitan perencanaan ekonomi wilayah. Mengingat ekonomi wilayah menggunakan
teori yang digunakan sama dengan teori ekonomi makro yang berkaitan dengan
pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, pendapatan, distribusi pendapatan, tenaga
kerja, produktivitas,perdagangan, konsumsi dan investasi.
Perencanaan ekonomi
makro wilayah adalah dengan membuat kebijakan ekonomi wilayah guna merangsang
pertumbuhan ekonomi wilayah. Bentuk produk dari perencanaan ini adalah
kebijakan bidang aksesibilitas lembaga keuangan, kesempatan kerja, tabungan).
(c)Social Planning
(Perencanaan Sosial).
Perencanaan sosial
membahas tentang pendidikan, kesehatan, integritas sosial, kondisi tempat
tinggal dan tempat kerja, wanita, anak-anak dan masalah kriminal. Perencanaan
sosial diarahkan untuk membuat perencanaan yang menjadi dasar program
pembangunan sosial di daerah. Bentuk produk dari perencanaan ini adalah
kebijakan demografis.
(d)Development
Planning(Perencanaan Pembangunan).
Perencanaan ini
berkaitan dengan perencanaan program pembangunan secara komprehensif guna
mencapai pengembangan wilayah.
15 . Teori
Fianstein dan Norman (Tiporogi perencanaan)
Fianstein dan Norman
(1991) tipologi perencanaan dibagi atas empat macam
yang didasarkan pada
pemikiran teoritis. Empat macam perencanaan tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a)Traditional
planning (perencanaan tradisional).
Pada jenis
perencanaan ini perencana menetapkan maksud dan tujuan untuk merubah sebuah
sistem kota yang telah rusak. Biasanya pada konsep perencanaan ini membuat
kebijakan-kebijakan untuk melakukan perbaikan pada sistem kota. Pada
perencanaan tradisional memiliki program inovatif terhadap perbaikan lingkungan
perkotaan dengan menggunakan standar dan metode yang professional.
b)User-Oriented
Planning (Perencanaan yang berorientasi pada pengguna). Konsep perencanaan ini
adalah membuat perencanaan yang bertujuan untuk
mengakomodasi
pengguna dari produk perencaan tersebut, dalam hal ini
masyarakat Kota.
Masyarakat yang menentukan produk perencanaan harus
dilibatkan dalam
setiap proses perencanaan.
c)Advocacy Planning
(Perencanaan Advokasi).
Pada perencanaan ini
berisikan program pembelaan terhadap masyarakat yang termarjinalkan dalam
proses pembangunan kota dalam hal ini adalah masyarakat miskin kota. Pada
perencanaan advokasi akan memberikan perhatian khusus terhadap melalui program
khusus guna meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin.
d)Incremental
Planning(Perencanaan dukungan).
Pada perencanaan yang
bersifat dukungan terhadap sebuah proses pengambilan keputusan terhadap
permasalahan-permasalahan perkotaan. Produk perencanaan ini bersifat analisis
yang mendalam terhadap permasalahan dengan mempertimbangkan dampak positif dan
dampak negatif sebuah kebijakan
16 . Teori
Glasson (Tipetipe perencanaan)
Menurut Glasson dalam
buku Tarigan (2005) menyebutkan tipe-tipe perencanaan terdiri dari; physical
planning and economic planning, allocative and innovative planning, multi or
single objective planning dan indicative or imperative planning. Selanjutnya
menurut Tarigan (2005) di Indonesia juga dikenal jenis top-down and bottom-up
planning, vertical and horizontal planning, dan perencanaan yang melibatkan
masyarakat secara langsung dan yang tidak melibatkan masyarakat sama sekali.
17 . Teori C.D.
Harris dan FL. Ulman (Pusat Kegiatan Banyak/Multiple Nuclei)
Teori ini
menggambarkan bahwa kota-kota besar akan mempunyai struktur yang terbentuk
atas sel-sel, dimana penggunaan lahan yang berbeda-beda akan
berkembang disekitar titik-titik pertumbuhan atau Nuclei didalam daerah
perkotaan. Perumusan ide ini pertamakali diusulkan
oleh C.D Harris dan F.L Ullmann tahun
1945. (Yunus 2002;44) Disamping menggabungkan ide-ide yang
dikemukakan teori konsentris dan teori sektor, teori pusat
kegiatan banyak ini masih menambahkan
unsur-unsur lain. Yang perlu diperhatikan adalah
Nuclei yang mengandung pengertian semua
unsur yang menarik fungsi-fungsi antara lain
pemukiman, perdagangan, industri, dll. Oleh karenanya
teori ini mempunyai struktur keruangan yang berbeda dengan teori konsentris dan
teori sektoral.
18 . Teori
Dixit (Model Struktur Kota)
19 . Teori
Patrick Geddes (Pola Pemukiman dan Lingkungan Ekonomi Lokal)
Patrick Geddes (1968)
mengemukakan ‘the classic rule of thumb’ dalam
mendefinisikan batas dari suatu konurbasi, yang berbunyi “…broadly speaking, the main limit of the modern
city is that of the hour’s journey or thereby, the maximum which busy men [sic]
can face without to great deduction from their day’s work” (hal.
41). Batasan ini sering dipakai oleh para peneliti dalam menentukan jarak antar
pusat dalam suatu interurban polisentris.
Dalam
memahami karakteristik interurban polisentris, penelitian ini juga merujuk
kepada tulisan Kloosterman dan Musterd (2001) yang mengelompokkannya ke dalam
empat dimensi (seperti pada intraurban polisentris). Hal ini dilakukan untuk
mempermudah dalam membandingkan karakteristik di antara keduanya.
a) Bentuk
Fisik
Seperti
halnya dalam intraurban polisentris, pada interurban polisentris juga terjadi
fenomena cross commuting
akibat terjadinya konsentrasi populasi penduduk dan aktivitas ekonomi yang
terdistribusi pada masing-masing pusat kota tanpa ada yang menjadi pusat
dominan dalam suatu wilayah interurban polisentris tersebut. Pola komuting yang
terjadi pun dapat berbentuk radial atau linier. Dalam melakukan pergerakan cross commuting pada interurban
polisentris lebih banyak menggunakan moda transportasi kendaraan pribadi
terutama mobil (Hall, 1993).
b) Kesatuan Politik
Kebijakan
pengembangan interurban polisentris lebih rumit dibandingkan dengan
pengembangan intraurban polisentris. Hal ini karena interurban polisentris
terdiri atas kota-kota atau beberapa kotadiantaranya memiliki kewenangan
politik masing-masing, atau secara lebih sederhana, terdiri atas beberapa
organisasi pemerintah (kesatuan politik) yang independen. Sehingga untuk
membuat kebijakan pengembangannya diperlukan kesepakatan bersama di antara
organisasi pemerintah tersebut, yang biasanya melalui suatu perdebatan yang
panjang. Mengingat begitu rumitnya pembuatan suatu kebijakan pengembangan
interurban polisentris, maka perlu dibentuk suatu lembaga pada tingkat wilayah
interurban, yang beranggotakan perwakilan dari seluruh stakeholders (masyarakat, pemerintah,
dan swasta) dari semua kota dalam wilayah interurban tersebut, yang mempunyai
kewenangan untuk membuat kebijakan pengembangan yang diperlukan (Scott, 1998;
Keating, 1999).
c) Hubungan
Fungsional
Kota-kota
dalam interurban polisentris mempunyai fungsi kegiatan yang berbeda, misalnya
ada yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat
industri manufaktur, pusat perumahan dan permukiman, ataupun mengemban fungsi
lainnya. Meskipun di antara kota-kota tersebut ada yang memiliki fungsi
kegiatan yang sama, biasanya salah satukotamempunyai intensitas kegiatan yang
lebih tinggi dibandingkotayang lain. Pengembangan suatu kegiatan pada salah
satukotadalam interurban polisentris perlu memperhatikan dan menyesuaikan
dengan fungsi kegiatan yang ada (Kloosterman dan Musterd, 2001).
Hal ini
untuk memperkuat kedudukan kota-kota tersebut dengan fungsi kegiatan yang
spesifik, sehingga setiap kota dalam interurban polisentris ini menjadi lokasi
yang mempunyai ‘competitive advantages’
(Krugman, 1991; Porter, 1990, 1998; Moss-Kantor, 1995; Storper, 1995, 1997;
Scott, 1998; Lawson, 1999). Namun, beberapa pakar yang lain (Putnam, 1993;
Saxenian, 1994; Scott, 2000; Gordon dan McCann, 2000) mengungkapkan bahwa hal
yang lebih penting adalah menjadikan wilayah interurban polisentris mempunyai
spesialisasi dan ‘competitive
advantages’ dalam perekonomian dunia.
d) Hubungan
Identitas dan Representasi Wilayah
Dalam
interurban polisentris, pembangunan dan pengembangan pusat kegiatan ekonomi
(dan sosial budaya) yang baru lebih penting daripada mempertahankan identitas
lokal dan batas-batas historis (Scott, 1998; Macleod, 1998).
20 . Teori
Aitai Etzioni (pengamatan Terpadu/Mixid scaning)
Penganjur teori ini
adalah ahli sosiologi organisasi Amitai Etzioni. Etzioni setuju terhadap
kritik-kritik para teoritisi inkremental yang diarahkan pada teori rasional
komprehensif, akan tetapi ia juga menunjukkan adanya beberapa kelemahan yang
terdapat pada teori inkremental. Misalnya, keputusan-keputusan yang dibuat oleh
pembuat keputusan penganut model inkremental akan lebih mewakili atau
mencerminkan kepentingan-kepentingan dari kelompok-kelompok yang kuat dan mapan
serta kelompok-kelompok yang mampu mengorganisasikan kepentingannya dalam
masyarakat, sementara itu kepentingan-kepentingan dari kelompok-kelompok yang
lemah dan yang secara politis tidak mampu mengorganisasikan kepentingannya
praktis akan terabaikan.
Lebih lanjut dengan memusatkan perhatiannya pada kepentingan/tujuan jangka pendek dan hanya berusaha untuk memperhatikan variasi yang terbatas dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ada sekarang, maka model inkremental cenderung mengabaikan peluang bagi perlunya pembaruan sosial (social inovation) yang mendasar.
Oleh karena itu, menurut Yehezkel Dror (1968) gaya inkremental dalam pembuatan keputusan cenderung menghasilkan kelambanan dan terpeliharanya status quo, sehingga merintangi upaya menyempurnakan proses pembuatan keputusan itu sendiri. Bagi sarjana seperti Dror– yang pada dasamya merupakan salah seorang penganjur teori rasional yang terkemuka — model inkremental ini justru dianggapnya merupakan strategi yang tidak cocok untuk diterapkan di negara-negara sedang berkembang, sebab di negara-negara ini perubahan yang kecil-kecilan (inkremental) tidaklah memadai guna tercapainya hasil berupa perbaikan-perbaikan besar-besaran.
Model pengamatan terpadu juga memperhitungkan tingkat kemampuan para pembuat keputusan yang berbeda-beda. Secara umum dapat dikatakan, bahwa semakin besar kemampuan para pembuat keputusan untuk memobilisasikan kekuasaannya guna mengimplementasikan keputusan-keputusan mereka, semakin besar keperluannya untuk melakukan scanning dan semakin menyeluruh scanning itu, semakin efektif pengambilan keputusan ‘tersebul Dengan demikian, moder pengamatan terpadu ini pada hakikatnya merupakan pendekatan kompromi yang menggabungkan pemanfaatan model rasional komprehensif dan moder inkremental dalam proses pengambilan keputusan.
Lebih lanjut dengan memusatkan perhatiannya pada kepentingan/tujuan jangka pendek dan hanya berusaha untuk memperhatikan variasi yang terbatas dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ada sekarang, maka model inkremental cenderung mengabaikan peluang bagi perlunya pembaruan sosial (social inovation) yang mendasar.
Oleh karena itu, menurut Yehezkel Dror (1968) gaya inkremental dalam pembuatan keputusan cenderung menghasilkan kelambanan dan terpeliharanya status quo, sehingga merintangi upaya menyempurnakan proses pembuatan keputusan itu sendiri. Bagi sarjana seperti Dror– yang pada dasamya merupakan salah seorang penganjur teori rasional yang terkemuka — model inkremental ini justru dianggapnya merupakan strategi yang tidak cocok untuk diterapkan di negara-negara sedang berkembang, sebab di negara-negara ini perubahan yang kecil-kecilan (inkremental) tidaklah memadai guna tercapainya hasil berupa perbaikan-perbaikan besar-besaran.
Model pengamatan terpadu juga memperhitungkan tingkat kemampuan para pembuat keputusan yang berbeda-beda. Secara umum dapat dikatakan, bahwa semakin besar kemampuan para pembuat keputusan untuk memobilisasikan kekuasaannya guna mengimplementasikan keputusan-keputusan mereka, semakin besar keperluannya untuk melakukan scanning dan semakin menyeluruh scanning itu, semakin efektif pengambilan keputusan ‘tersebul Dengan demikian, moder pengamatan terpadu ini pada hakikatnya merupakan pendekatan kompromi yang menggabungkan pemanfaatan model rasional komprehensif dan moder inkremental dalam proses pengambilan keputusan.
21 . Teori
Kevin Lynch (Desain Ruang Kota)
Elemen pembentuk citra
kota menurut Kevin Lynch adalah:
1. Paths
Merupakan
suatu jalur yang digunakan oleh pengamat untuk bergerak atau berpindah tempat.
Menjadi elemen utama karena pengamat bergerak melaluinya pada saat mengamati
kota dan disepanjang jalur tersebut elemen-elemen lingkungan lainnya tersusun
dan dihubungkan. Path merupakan
elemen yang paling penting dalam image kota yang menunjukkan rute-rute
sirkulasi yang biasanya digunakan orang untuk melakukan pergerakan secara umum,
yakni jalan, gang-gang utama, jalan transit, lintasan kereta api, saluran dan
sebagainya. Path mempunyai
identitas yang lebih baik kalau memiliki identitas yang besar (misalnya ke
stasiun, tugu, alun-alun,dan lain-lain), serta ada/ penampakan yang kuat
(misalnya fasade, pohon, dan lain-lain), atau belokan yang jelas.
2. Edges
Merupakan
batas, dapat berupa suatu desain, jalan, sungai, gunung. Edge memiliki identitas yang kuat
karena tampak visualnya yang jelas. Edge merupakan
penghalang walaupun kadang-kadang ada tempat untuk masuk yang merupakan pengakhiran
dari sebuah district atau batasan sebuah district dengan yang lainnya. Edge memiliki identitas yang
lebih baik jika kontinuitas tampak jelas batasnya. Demikian pula fungsi
batasnya harus jelas : membagi atau menyatukan. Contoh : adanya jalan tol yang
membatasi dua wilayah yaitu pelabuhan dan kawasan perdagangan.
3. Districts
Merupakan
suatu bagian kota mempunyai karakter atau aktivitas khusus yang dapat dikenali
oleh pengamatnya. District
memiliki bentuk pola dan wujud yang khas begitu juga pada batas district sehingga orang tahu
akhir atau awal kawasan tersebut. District memiliki
ciri dan karakteristik kawasan yang berbeda dengan kawasan disekitarnya. District juga mempunyai identitas
yang lebih baik jika batasnya dibentuk dengan jelas tampilannya dan dapat
dilihat homogen, serta fungsi dan komposisinya jelas. Contoh: kawasan
perdagangan, kawasan permukiman, daerah pinggiran kota, daera pusat kota.
4. Nodes
Merupakan
simpul atau lingkaran daerah strategis di mana arah atau aktivitasnya saling
bertemu dan dapat diubah ke arah atau aktivitas lain, misalnya persimpangan
lalu lintas, stasiun, lapangan terbang, jembatan, kota secara keseluruhan dalam
skala makro besar, pasar, taman, square, tempat suatu bentuk perputaran
pergerakan, dan sebagainya. Node juga merupakan suatu tempat di mana orang
mempunyai perasaan ‘masuk’ dan ‘keluar’ dalam tempat yang sama. Node mempunyai
identitas yang lebih baik jika tempatnya memiliki bentuk yang jelas (karena
lebih mudah diingat), serta tampilan berbeda dari lingkungannya (fungsi,
bentuk). Contoh: persimpangan jalan
5. Landmark
Merupakan
simbol yang menarik secara visual dengan sifat penempatan yang menarik
perhatian. Biasanya landmark
mempunyai bentuk yang unik serta terdapat perbedaan skala dalam lingkungannya.
Beberapa landmark hanya
mempunyai arti di daerah kecil dan hanya dapat dilihat di daerah itu, sedangkan
landmark lain mempunyai arti
untuk keseluruhan kota dan bisa di lihat dari mana-mana. Landmark adalah elemen penting
dari bentuk kota karena membantu orang mengenali suatu daerah. Selain itu
landmark bisa juga merupakan titik yang menjadi ciri dari suatu kawasan.
Contoh: patung Lion di Singapura, menara Kudus, Kubah gereja Blenduk.
22 . Teori
Bryson (perencanaan Strategik)
Perencanaan strategis
menurut John M. Bryson & Miftahudin adalah sekumpulan konsep,
prosedur dan alat-alat (sumber-sumber yang tersedia) sebagai upaya yang konkrit
dan disiplin untuk membuat satu keputusan dan tindakan dalam melaksanakan
perencanaan yang efektif dan effisien
23 . Teori Gordon (Perencanaan Strategi Untuk
Pemerintah Lokal/Strategic planning for
Local Government)
Strategic Planning
memberikan arahan mengenai apa yang ingin dicapai oleh di masa depan dan
bagaimana cara mencapainya. Strategic planning penting karena berpengaruh
terhadap keberhasilan perencanaan dalam jangka panjang.
Perencanaan
strategis secara eksplisit berhubungan dengan bagaimana pengelolaan bagi sebuah
perubahan, hal ini telah menjadi hasil penelitian beberapa ahli (e.g., Ansoff,
1965; Anthony,1965; Lorange, 1980; Steiner, 1979).Keuntungan menggunakan tipe
perencanaan strategis yaitu kita dapat melakukan, antara lain (Gordon, 1993:
3-6):
1) Antisipasi
terhadap masa depan,
terutama terhadap
peluang dan permasalahan strategis. Bila jauh hari, kemungkinan permasalahan
dapat diantisipasi sebelum benar-benar terjadi, maka permasalahan tersebut
dapat diminimalkan dan dampaknya dapat dikendalikan. Bila peluang tidak
diantisipasi, maka kita akan kehilangan kesempatan dan mungkin problema muncul
karenanya.
2)
Evaluasi diri.
Dengan perencanaan
strategis, kita semua dapat bekerja bersama untuk mengevaluasi diri, terutama
tentang kekuatan dan kelemahan yang kita miliki. Kesadaran akan kekuatan dan
kelemahan diri akan membuat kita lebih realistis dalam merencanakan masa depan
kita.
3)
Perumusan tujuan bersama
melalui konsensus.
Dengan tipe perencanaan
strategis yang menggaris bawahi pembangunan konsensus antar stakeholders maka
dapat dirumuskan ke arah mana kita akan menuju dan dengan cara apa yang terbaik
untuk sampai ke tujuan tersebut.
4)
Alokasi sumberdaya.
Perencanaan
strategis mengalokasikan sumberdaya dengan menetapkan prioritas dalam perumusan
strategi, terutama sumberdaya manusia dan prasarana. Alokasi sumberdaya
dilakukan antar bidang layanan perkotaan yang saling berkompetisi dalam
meningkatkan kualitas layanan.
5)
Pemantapan tolok banding
(benchmarks), yang berupa rumusan tujuan dan sasaran.
Hasil
implementasi atau tindakan dibandingkan dengan tolok banding keberhasilan.
Dengan menilai kinerja akan dapat ditarik "pelajaran" dari pengalaman
dan masukan balik diperlukan untuk meningkatkan kualitas rencana strategis
dalam hal proses maupun produknya.
24 . Teori
Albert Hirschman (Konsep Dampak Tetesan Ke Bawah/Trickling-Down Effect)
Dampak tetesan ke
bawah (trickling down effect) dan dampak polarisasi (hirschman) yang sama
artinya dengan dampak penjabaran (spread effect) dan dampak pengurasan
(backwash effect; Gunar Myndal)
25 . Teori E.W.
Burgess (Konsentris Struktur Kota)
Menurut Teori
Konsentris (Burgess,1925) DPK atau CBD adalah pusat kota yang letaknya tepat di
tengah kota dan berbentuk bundar yang merupakan pusat kehidupan sosial,
ekonomi, budaya dan politik, serta merupakan zona dengan derajat aksesibilitas
tinggi dalam suatu kota. DPK atau CBD tersebut terbagi atas dua bagian, yaitu:
pertama, bagian paling inti atau RBD (Retail Business District) dengan kegiatan
dominan pertokoan, perkantoran dan jasa; kedua, bagian di luarnya atau WBD
(Wholesale Business District) yang ditempati oleh bangunan dengan peruntukan
kegiatan ekonomi skala besar, seperti pasar, pergudangan (warehouse), dan
gedung penyimpanan barang supaya tahan lama (storage buildings).
Model zona konsentrik
atau Teori konsentris adalah teori mengenai perencanaan perkotaan yang
dikembangkan oleh seorang sosiolog asal Amerika Serikat bernama Ernest Burgess
berdasarkan hasil penelitiannya terhadap kota Chicago yang dilakukan pada tahun
1925.Burgess menyimpulkan bahwa wilayah perkotaan dapat dibagi menjadi enam
zona
“Model” yang paling terkenal dari area sosial urban ini direncanakan oleh E.W Burgess di tahun 1923 dan telah dikenal sebagai Zona l atau Teori Konsentris. Model ini didasarkan pada konsep bahwa perkembangan sebuah kota terjadi ke arah luar dari area sentralnya, untuk membentuk serangkaian zona-zona konsentris. Zona ini dimulai dengan Central Business District, yang dikelilingi dengan area transisi. Kemudian zona transisi ini dikelilingi oleh zona perumahan pekerja. Lebih jauh dari pusat kota adalah hunian yang lebih luas, ditempati oleh kelompok-kelompok kelas menengah. Terakhir adalah zona komuter yang terletak di luar area built up kota, batas terluarnya merupakan satu jam perjalanan dari pusat kota, dimana sejumlah besar populasi zona ini bekerja.
“Model” yang paling terkenal dari area sosial urban ini direncanakan oleh E.W Burgess di tahun 1923 dan telah dikenal sebagai Zona l atau Teori Konsentris. Model ini didasarkan pada konsep bahwa perkembangan sebuah kota terjadi ke arah luar dari area sentralnya, untuk membentuk serangkaian zona-zona konsentris. Zona ini dimulai dengan Central Business District, yang dikelilingi dengan area transisi. Kemudian zona transisi ini dikelilingi oleh zona perumahan pekerja. Lebih jauh dari pusat kota adalah hunian yang lebih luas, ditempati oleh kelompok-kelompok kelas menengah. Terakhir adalah zona komuter yang terletak di luar area built up kota, batas terluarnya merupakan satu jam perjalanan dari pusat kota, dimana sejumlah besar populasi zona ini bekerja.
26. Teori Homer Hoyt (Sektor
Struktur Kota)
Teori Konsektoral
(Griffin dan Ford, 1980). Teori Konsektoral dilandasi oleh strutur ruang kota
di Amerika Latin. Dalam teori ini disebutkan bahwa DPK atau CBD merupakan
tempat utama dari perdagangan, hiburan dan lapangan pekerjaan. Di daerah ini
terjadi proses perubahan yang cepat sehingga mengancam nilai historis dari
daerah tersebut. Pada daerah – daerah yang berbatasan dengan DPK atau CBD di
kota-kota Amerika Latin masih banyak tempat yang digunakan untuk kegiatan
ekonomi, antara lain pasar lokal, daerah-daerah pertokoan untuk golongan
ekonomi lemah dan sebagian lain dipergunakan untuk tempat tinggal sementara para
imigran.
27 . Teori spiro Kostof dan
Gallion ( pertumbuhan Kota)
Menurut Spiro Kostof
(1991), Kota adalah Leburan Dari bangunan dan penduduk, sedangkan bentuk kota
pada awalnya adalah netral tetapi kemudian berubah sampai hal ini dipengaruhi
dengan budaya yang tertentu. Bentuk kota ada dua macam yaitu geometri dan
organik.Terdapat dikotomi bentuk perkotaan yang didasarkan pada bentuk geometri
kota yaitu Planned dan Unplanned.
- Bentuk Planned (terencana) dapat dijumpai pada kota-kota eropa abad pertengahan dengan pengaturan kota yang selalu regular dan rancangan bentuk geometrik.
- Bentuk Unplanned (tidak terencana) banyak terjadi pada kota-kota metropolitan, dimana satu segmen kota berkembang secara sepontan dengan bermacam-macam kepentingan yang saling mengisi, sehingga akhirnya kota akan memiliki bentuk semaunya yang kemudian disebut dengan organik pattern, bentuk kota organik tersebut secara spontan, tidak terencana dan memiliki pola yang tidak teratur dan non geometrik.
Elemen-elemen
pembentuk kota pada kota organik, oleh kostol dianalogikan secara biologis
seperti organ tubuh manusia, yaitu :
1.
Square, open space sebagai paru-paru.
2.
Center, pusat kota sebagai jantung yang memompa darah (traffic).
3. Jaringan
jalan sebagai saluran arteri darah dalam tubuh.
4. Kegiatan
ekonomi kota sebagai sel yang berfikir.
5. Bank,
pelabuhan, kawasan industri sebagai jaringan khusus dalam tubuh.
6. Unsur
kapital (keuangan dan bangunan) sebagai energi yang mengalir ke seluruh sistem
perkotaan.
Dalam suatu kota
organik, terjadi saling ketergantungan antara lingkungan fisik dan lingkungan
sosial. Contohnya : jalan-jalan dan lorong-lorong menjadi ruang komunal dan
ruang publik yang tidak teratur tetapi menunjukkan adanya kontak sosial dan
saling menyesuaikan diri antara penduduk asli dan pendatang, antara kepentingan
individu dan kepentingan umum. Perubahan demi perubahan fisik dan non fisik
(sosial) terjadi secara sepontan. Apabila salah satu elemnya terganggu maka
seluruh lingkungan akan terganggu juga, sehingga akan mencari keseimbangan
baru. Demikian ini terjadi secara berulang-ulang.
28. Teori Shirvani (Elemen-Elemen
Fisik Kota/Desain perkotaan)
Menurut Hamid
Shirvani terdapat 8 elemen fisik perancangan kota, yaitu:
- Tata Guna Lahan (Land Use)
Prinsip Land Use
adalah pengaturan penggunaan lahan untuk menentukan pilihan yang terbaik dalam
mengalokasikan fungsi tertentu, sehingga kawasan tersebut berfungsi dengan
seharusnya.
(Sumber: Perancangan
Kota, Urban Desain)
Tata Guna Lahan
merupakan rancangan dua dimensi berupa denah peruntukan lahan sebuah kota.
Ruang-ruang tiga dimensi (bangunan) akan dibangun di tempat-tempat sesuai
dengan fungsi bangunan tersebut. Sebagai contoh, di dalam sebuah kawasan
industri akan terdapat berbagai macam bangunan industri atau di dalam kawasan
perekonomian akan terdapat berbagai macam pertokoan atau pula di dalam kawasan
pemerintahan akan memiliki bangunan perkantoran pemerintah. Kebijaksanaan tata
guna lahan juga membentuk hubungan antara sirkulasi/parkir dan kepadatan
aktivitas/penggunaan individual.
Terdapat perbedaan
kapasitas (besaran) dan pengaturan dalam penataan ruang kota, termasuk di
dalamnya adalah aspek pencapaian, parkir, sistem transportasi yang ada, dan
kebutuhan untuk penggunaan lahan secara individual. Pada prinsipnya, pengertian
land use (tata guna lahan) adalah pengaturan penggunaan lahan untuk
menentukan pilihan yang terbaik dalam mengalokasikan fungsi tertentu, sehingga
dapat memberikan gambaran keseluruhan bagaimana daerah-daerah pada suatu
kawasan tersebut seharusnya berfungsi.
(Sumber: Tugas
Perancangan Kota, Universitas Diponegoro)
- Bentuk dan Massa Bangunan (Building Form and Massing)
Bentuk dan massa
bangunan ditentukan oleh tinggi dan besarnya bangunan, KDB, KLB, sempadan,
skala, material, warna, dan sebagainya.
Prinsip-prinsip dan
teknik Urban Design yang berkaitan dengan bentuk dan massa bangunan meliputi:
-
Scale, berkaitan dengan sudut pandang manusia, sirkulasi, dan dimensi bangunan
sekitar.
-
Urban Space, sirkulasi ruang yang disebabkan bentuk kota, batas, dan tipe-tipe
ruang.
-
Urban Mass, meliputi bangunan, permukaan tanah dan obyek dalam ruang yang dapat
tersusun untuk membentuk urban space dan pola aktifitas dalam skala besar dan
kecil.
(Sumber: Perancangan
Kota, Urban Desain)
Building
form and massing
membahas mengenai bagaimana bentuk dan massa-massa bangunan yang ada dapat
membentuk suatu kota serta bagaimana hubungan antar-massa (banyak bangunan)
yang ada. Pada penataan suatu kota, bentuk dan hubungan antar-massa seperti
ketinggian bangunan, jarak antar-bangunan, bentuk bangunan, fasad bangunan, dan
sebagainya harus diperhatikan sehingga ruang yang terbentuk menjadi teratur, mempunyai
garis langit – horizon (skyline) yang dinamis serta menghindari adanya lost
space (ruang tidak terpakai).
Building
form and massing
dapat meliputi kualitas yang berkaitan dengan penampilan bangunan, yaitu
: ketinggian bangunan, kepejalan bangunan, KLB, KDB, garis sempadan
bangunan, langgam, skala, material, tekstur, warna.
(Sumber: Tugas
Perancangan Kota, Universitas Diponegoro)
- Sirkulasi dan Perparkiran
Sirkulasi kota
meliputi prasarana jalan yang tersedia, bentuk struktur kota, fasilitas
pelayanan umum, dan jumlah kendaraan bermotor yang semakin meningkat. Semakin
meningkatnya transportasi maka area parkir sangat dibutuhkan terutama di
pusat-pusat kegiatan kota (CBD).
(Sumber: Perancangan
Kota, Urban Desain)
Sirkulasi adalah
elemen perancangan kota yang secara langsung dapat membentuk dan mengkontrol
pola kegiatan kota, sebagaimana halnya dengan keberadaan sistem transportasi
dari jalan publik, pedestrian way, dan tempat-tempat transit yang saling
berhubungan akan membentuk pergerakan (suatu kegiatan). Sirkulasi di dalam kota
merupakan salah satu alat yang paling kuat untuk menstrukturkan lingkungan
perkotaan karena dapat membentuk, mengarahkan, dan mengendalikan pola aktivitas
dalam suatu kota. Selain itu sirkulasi dapat membentuk karakter suatu daerah,
tempat aktivitas dan lain sebagainya.
Tempat parkir
mempunyai pengaruh langsung pada suatu lingkungan yaitu pada kegiatan komersial
di daerah perkotaan dan mempunyai pengaruh visual pada beberapa daerah
perkotaan. Penyediaan ruang parkir yang paling sedikit memberi efek visual yang
merupakan suatu usaha yang sukses dalam perancangan kota.
(Sumber: Tugas
Perancangan Kota, Universitas Diponegoro)
- Ruang Terbuka (Open Space)
Open space selalu
berhubungan dengan lansekap. Lansekap terdiri dari elemen keras dan elemen
lunak. Open space biasanya berupa lapangan, jalan, sempadan, sungai, taman,
makam, dan sebagainya.
(Sumber: Perancangan
Kota, Urban Desain)
Berbicara tentang
ruang terbuka (open space) selalu menyangkut lansekap. Elemen lansekap terdiri
dari elemen keras (hardscape seperti : jalan, trotoar, patung, bebatuan dan
sebagainya) serta elemen lunak (softscape) berupa tanaman dan air. Ruang
terbuka biasa berupa lapangan, jalan, sempadan sungai, green belt, taman dan
sebagainya.
Dalam perencanan open
space akan senantiasa terkait dengan perabot taman/jalan (street furniture).
Street furniture ini bisa berupa lampu, tempat sampah, papan nama, bangku taman
dan sebagainya.
29 . Teori Tracik ( Desain Spasial Kota )
Menurut
Tracik (1986) dalam suatu lingkungan permukiman ada rangkaian antara figure
ground, linkage dan palce. Figure ground menekankan adanya public civics space
atau open space pada kota sebagai figure. Melalui figure ground plan dapat
diketahui antara lain pola atau tipologi, konfigurasi solid void yang merupakan
elemtal kawasan atau pattern kawasan penelitian, kualitas ruang luar sangat
dipengaruhi oleh figure bangunan-bangunan yang melingkupinya, dimana tampak
bangunan merupakan dinding ruang luar, oleh karena itu tata letak, bentuk dan
fasade sistem bangunan harus berada dalam sistem ruang luar yang membentuknya.
Komunikasi
antara privat dan publik tercipta secara langsung. Ruang yang mengurung
(enclosure) merupakan void yang paling dominan, berskala manusia (dalam lingkup
sudut pandang mata 25-30 derajat) void adalah ruang luar yang berskala
interior, dimana ruang tersebut seperti di dalam bangunan, sehingga ruang luar
yang enclosure terasa seperti interior. Diperlukan keakraban antara bangunan
sebagai private domain dan ruang luar sebagai public dominan yang menyatu
Dalam
¡¨lingkage theory¡¨ sirkulasi merupakan penekanan pada hubungan pergerakan yang
meruakan kontribusi yang sangat penting.
30 . Teori
Alkadei (Konsep pengembangan wilayah perkotaaan)
Konsep-Konsep Pengembangan Wilayah
1. Pusat-Pusat Pertumbuhan
2. Pengembangan Ekonomi Lokal
3. Strategi Pengembangan Ekonomi
·
Location Quotient Analysis (LQ)
·
Shift – Share Analysis
4. Pembangunan Ekonomi Berbasis Wilayah
5. Pengembangan Wilayah Berbasis Kompetisi
Paradigma baru dalam strategi pengembangan wilayah adalah memenangkan
persaingan antar wilayah. Persaingan antar wilayah merupakan fenomena
tersendiri dalam dinamika perekonomian dewasa ini (Alkadri, 1999). Eksistensi
suatu wilayah akan ditentukan oleh kemampuan menciptakan basis keunggulan dalam
persaingan ekonomi antar wilayah.
Terdapat tiga pilar pengembangan wilayah, yaitu sumber daya alam, sumber
daya manusia dan teknologi. Ketiga pilar ini merupakan basis untuk memenangkan
persaingan antar wilayah. Sementara itu, ada pula tiga fenomena yang berperan
penting dalam peningkatan intensitas persaingan antar wilayah, yakni trend
perdagangan global (global trade), kemajuan teknologi (technology progress) dan
perubahan dalam sistem kemasyarakatan (society system).
Fenomena-fenomena tersebut menuntut adanya suatu paradigma baru dalam
pengembangan wilayah, jika tidak ingin tersisih dari persaingan. Pembangunan
ekonomi yang selama ini yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi dengan
mengandalkan keunggulan komperatif berupa kekayaan alam yang melimpah dan
tenaga kerja yang murah, tidak akan menjamin keberlanjutan wilayah tersebut.
Paradigma baru pembangunan harus dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi
tumbuhnya perusahaan-perusahaan yang mempunyai daya saing yang tinggi. Porter
dalam Alkadri (1999) menggambarkan bahwa faktor keunggulan komperatif telah
dikalahkan oleh kemajuan teknologi. Namun, setiap wilayah masih mempunyai
faktor keunggulan khusus, yaitu inovasi. Suatu wilayah bisa meraih keunggulan daya
saing melalui empat hal, yaitu :
a)
Keunggulan faktor produksi,
b)
Keunggulan inovasi,
c)
Kesejahteraan masyarakat dan
d)
Besarnya investasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar