KONSEP UTOPIANISME
Utopia,
dalam arti luas dan umumnya, menunjuk kesebuah masyarakat hipotetis
sempurna. Dia juga digunakan untuk menggambarkan komunitas nyata yang
didirikan dalam usaha menciptakan masyarakat di atas. Kata sifat utopis
digunakan untuk merujuk ke sebuah proposal yang baik namun (secara
fisik, sosial, ekonomi, atau politik) tidak mungkin terjadi, atau paling tidak
merupakan sesuatu yang sulit dilaksanakan.Utopia dapat berupa
idealisme atau praktis, namun istilah ini telah digunakan sebagai
konotasi optimis, idealis, tak mungkin kesempurnaan. Utopia sering juga
dikontraskan dengan distopia yang tidak diiinginkan (anti-utopia) dan juga
utopia satirikal.
Utopianisme dan Perkembangan Teknologi Komunikasi
Utopia dapat
diartikan sebagai suatu ide mengenai masyarakat idaman, tentram dan damai.
Utopianisme merupakan suatu bentuk pemahaman mengenai konsep
“masyarakat/peradaban tanpa cela”. Peradaban tanpa cela ini adalah suatu
peradaban masa depan yang dimana segala sesuatu berlangsung secara indah, menyenangkan,
dan ideal. Masyarakat/peradaban yang tanpa cela ini juga diartikan sebuah
peradaban yang demokratis dan tanpa kelas.
Pendekatan
utopianisme dalam memahami perkembangan teknologi adalah bagaimana perkembangan
suatu teknologi tetap diimbangi dengan lingkungan alam yang lestari dan kondisi
sosial kultur yang tetap baik dan terjaga. Misalkan saja bila Indonesia tidak
lagi diliputi polusi limbah pabrik, pepohonan hijau dimana-mana, sungai-sungai
tetap memberikan ekosistem air yang baik, habitat hewan dan tumbuhan terjaga
baik, meskipun perkembangan teknologi di Indonesia berjalan pesat.
Begitupun
juga dengan teknologi komunikasi, pemikiran utopia menginginkan teknologi
komunikasi yang sangat berkembang pesat tetap diimbangi dengan sosial dan
kultur masyarakat yang positif. Seperti kemunculan teknologi internet yang
semakin memudahkan manusia berinteraksi tetap mampu menjaga moral, etika,
norma-norma masyarakat. Kemunculan jejaring sosial Facebook, tetap menjaga
silahturahmi tak hanya secara maya namun juga secara langsung (face to face).
Masih banyak harapan lainnya selain dua contoh diatas, namun pemikir utopia
menginginkan berbagai konsekuen negatif perkembangan teknologi komunikasi yang
telah pesat di berbagai bidang kehidupan tersebut tidak terjadi. Memang ini
sebuah khayalan tingkat tinggi, namun ini bukanlah sebuah hal yang mustahil
untuk dilakukan. Sejatinya, teknologi komunikasi terus diciptakan dan
dikembangkan adalah tak lain untuk memudahkan perjalanan hidup manusia. Bila
manusia meletakkan kemuliaan martabat manusia diatas menggiurnya perkembangan
teknologi komunikasi saat ini, maka manusia akan menggunakan teknologi
komunikasi untuk kemaslahatan dan menjauhkan dari niat-niat negatif dalam
penggunaannya. Yang terjadi saat ini justru manusia rela menjatuhkan
kemuliaannya dengan bersikap egois dan tak bijak dalam menggunakan teknologi
komunikasi. Demi kepentingan pribadi, manusia rela saling menjatuhkan,
merugikan, membinasakan manusia lainnya dengan memanfaatkan kemajuan teknologi.
Bila melihat
carut marut dunia yang disebabkan perkembangan teknologi termasuk teknologi
komunikasi, pemikiran utopia memang bagi sebagian orang dianggap terkesan
sepele, muluk-muluk, terlalu berandai-andai, dan hanya suatu khayalan tingkat
tinggi. Namun sebenarnya ini adalah suatu pemikiran yang didambakan oleh
orang-orang yang menginginkan kehidupan yang lebih baik. Pemikir utopia yakin
suatu saat keseimbangan alam dan sosial kultur manusia dengan teknologi
termasuk teknologi komunikasi dapat terwujud suatu hari nanti.
IDEALISME/UTOPIANISME
Pemikiran
Idealism/Utopianism muncul setelah berakhirnya Perang Dunia I, yaitu akibat
dari keinginan para ilmuwan dan politisi untuk memahami sebab-sebab terjadinya
perang dan untuk mewujudkan dunia yang lebih damai. Kaum Idealis/Utopianis
sendiri sebagian besar adalah intellectual descendants (keturunan secara
intelektual) dari optimisme masa Pencerahan abad ke-18 dan Liberalisme abad
ke-19. Pada dasarnya, pemikiran Idealism/Utopianism didasarkan pada keyakinan-keyakinan
, antara lain:
1. Manusia
esensinya adalah ”baik” atau lebih mementingkan kepentingan orang lain dan oleh
karenanya mau saling membantu dan bekerjasama. Manusia adalah harmonis, tidak
mau berperang atau konflik.
2. Perang
dapat dihindari dan frekwensinya dapat dikurangi dengan menghapuskan kondisi
anarkhis yang dapat memperkuatnya. Ada tiga poin penting untuk mengeliminasi
perang dan agar dunia bisa menjadi damai, yaitu: apreference for democracy over aristocracy, free trade over autarchy and
collective security over the balance of power system.
3. Perilaku
manusia yang buruk, termasuk melakukan perang adalah bukan produk dari
kejahatan manusia tetapi kejahatan dari institusi atau lembaga dan susunan struktur
yang memotivasi seseorang untuk berbuat egois dan merugikan yang lain. Oleh
karena itu, perang bukanlah keinginan manusia tetapi merupakan kesalahan system
yang ada. Seperti yang dikatakan oleh Immanuel Kant, perang adalah akibat dari
system yang tidak demokratis. Jadi, dunia akan damai jika negara-negara di
dunia demokratis (a preference for democracy over aristocracy). Prinsipnya
adalah Inside Looking Out, melihat masing-masing negara adalah demokratis.
4. Pada
dasarnya manusia memperhatikan kesejahteraan dan kemajuan sesamanya. Free trade,
bagaimanapun juga, adalah sarana yang lebih efektif dan damai untuk mewujudkan
kesejahteraan nasional daripada autarchy (free trade over autarchy). Sebagian
besar perang dilakukan oleh negara adalah untuk mencapai kesuksesan tujuan
merkantilis mereka yang berarti autarchy, sedangkan free trade menyatukan
negara-negara dan unit-unit individu dimanapun dalam sebuah komunitas. Hambatan
yang dibuat dalam perdagangan dapat menyebabkan konflik internasional.
Perdagangan akan menciptakan hubungan ketergantungan yang saling menguntungkan
dan mengurangi konflik.
5. Perang
dan ketidakadilan adalah masalah-masalah internasional yang membutuhkan
usaha-usaha kolektif/multilateral daripada usaha-usaha nasional untuk
melenyapkannya (collective security over the balance of power system). Terdapat
proses penghukuman bersama bagi negara yang melanggar kesepakatan atau keluar
dari collective security system. Posisi semua negara dianggap equal, karena
asumsinya semua negara adalah baik dan bersifat harmonis. Collectivesecurity
system menyediakan sebuah tingkat kepercayaan yang saling menguntungkan.
6.
Masyarakat internasional harus mereorganisasi dirinya sendiri secara
nstitusional untuk melenyapkan anarkhi yang lebih senang memandang
permasalahan sebagai perang. Bagi Idealis untuk mencapai perdamaian diperlukan
alat-alat normatif, yaitu hukum Internasional, organisasi Internasional dan
sejarah diplomasi. Perwujudan dari keyakinan ini adalah dibentuknya Liga
Bangsa-Bangsa (The League of Nations) yang diprakarsai oleh Presiden Amerika
Serikat Woodrow Wilson. Tujuan ini realistis karena sejarah menunjukkan bahwa
kerjasama tidak hanya mungkin tetapi merupakan kenyataan empiris yang
meyakinkan. Dari keyakinan dan resep-resep yang ditawarkan kelompok
Idealis/Utopianis di atas, ada beberapa hal yang perlu dicermati, yaitu:
1. Apakah
benar semua manusia itu baik? Menurut orang realis, semua manusia adalah jahat
sehingga konflik/perang adalah sesuatu yang inherent. Dan kenyataannya, manusia
ada yang baik dan ada juga yang jahat.
2. Mekanisme
legal-institusional dari para teoritisi Idealis adalah sangat normative , hanya
membahas bagaimana seharusnya negara bertindak tetapi tidak bias menjelaskan
mengapa negara melakukan suatu tindakan tertentu.
3. Asumsi
penghukuman bersama dalam collective security system dalam kenyataannya sulit
untuk dilakukan, karena kedekatan masing-masing Negara berbeda-beda dan sikap
suatu negara pasti didasarkan pada national interest-nya.
4. Kaum
Idealis terlalu mengaburkan antara national interest dengan prinsip-prinsip
moral universal.
5. Munculnya
pemikiran Kaum Idealis/Utopianis secara teoritis merupakan sumbangan baru,
yaitu pendekatan yang lebih manusiawi, ingin menciptakan masyarakat yang adil
dan makmur, tapi sayangnya mereka mengklaim hanya merekalah yang benar.
6.
Upaya-upaya akademis teoritisi Idealis untuk mencegah perang juga tidak
berhasil. Perang Dunia sekali lagi terjadi dalam skala yang lebih luas, dengan
korban jiwa dan material yang semakin besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar